Sunday, January 11, 2015

TUGAS 4


TAHAP PERKEMBANGAN MORAL MENURUT LAWRENCE KOHLBERG
Menurut Lawrence Kohlberg, tahapan perkembangan adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya, dimana penalaran moral merupakan dasar dari perilaku etis. Kemudian Kohlberg memperluas pandangan dasar tersebut dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg mengklasifikasikan menjadi enam tahap yang kemudian dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu Pra-Konvensional, Konvensional, dan Pasca-Konvensional.
Tingkat Pra-Konvensional :
1.       Orientasi Kepatuhan dan Hukuman.
2.       Orientasi Minat Pribadi.
(Apa untungnya buat saya?).
Tingkat Konvensional
3.       Orientasi Keserasian Interpersonal dan Konformitas
(Sikap Anak Baik).
4.       Orientasi Otoritas dan Pemeliharaan Aturan Sosial.
(Moralitas Hukum dan Aturan).
Tingkat Pasca- Konvensional
5.       Orientasi Kontrak Sosial.
6.       Prinsip Etika Universal.
(Principel Conscience).
Tingkat Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Tahapan tersebut adalah :
Tahap Orientasi Kepatuhan dan Hukuman (Tahap 1)
Dalam tahap ini, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman, maka dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap Orientasi Minat Pribadi (Tahap 2)
Tahap ini menempati posisi apa untungnya buat saya, dimana perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap ini kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”
Dalam tahap kedua ini, perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Sehingga kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada orang remaja atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
Tingkat konvensional terdiri dari :
Tahap Orientasi Keserasian Interpersonal dan Konformitas (Tahap 3)
Dalam tahap ini, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…’.
Tahap Orientasi Otoritas dan Pemeliharaan Aturan Sosial (Tahap 4)
Dalam tahap ini adalah penting untuk mematuhi hokum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu, sehingga ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
Tingkat Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, dikenal sebagai tingkat berprinsip, yang terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat.
Tahap Orientasi Kontrak Sosial (Tahap 5)
Dalam tahap ini, individu-individu dipandang memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dimana mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relative, seperti kehidupan dan pilihan, jangan sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolute, 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak?’. Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrk sosial dan bukan keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu, demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Tahap Prinsip Etika Universal (Tahap 6)
Dalam tahap ini, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama. Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil, dimana seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.

HAL-HAL YANG MENENTUKAN TINGKATAN INTENSITAS MENGENAI ETIKA
Ada 4 tingkatan intensitas mengenai etika, yaitu :
1.       Etika atau Moral Pribadi.
Yaitu yang memberikan teguran tentang baik/buruknya, yang sangat tergantung kepada beberapa factor, antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan penglaman masa lalu.
2.       Etika Profesi
Serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu.
3.       Etika Organisasi
Serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal, yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan.
4.       Etika Sosial
Norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyrakat selalu terjaga dan terpeliharan.

PENYIMPANGAN DI TEMPAT KERJA
Penyimpangan di tempat kerja adalah perilaku tidak etis yang melanggar norma-norma organisasi mengenai benar atau salah.
Terdapat 4 jenis penyimpangan di tempat kerja :
1.       Penyimpangan Produksi
Perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil produksi. Misalnya, pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja bekerja lamban, membuang-buang sumber daya secara sengaja.
2.       Penyimpangan Hak Milik
Perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan, misalnya menyabotase, mencuri atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang lebih tinggi dan mengambil kelebihannya, menipu jumlah jam kerja, mencuri dari perusahaan lain.
3.       Penyimpangan Politik
Yaitu menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan orang lain dalam perusahaan. Misalnya mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, menuduh orang lain atas kesalahan yang tidak dibuat orang tersebut.
4.       Penyerangan Pribadi
Sikap bermusuhan atau perilaku enyerang terhadap orang lain. Misalnya pelecehan seksual, perkataan kasar, mencuri dari rekan kerja, mengancam rekan kerja secara pribadi.

SUMBER :